“Nggak Jelas tapi Jalan Terus: Catatan Perjalanan Selama di Gresik, Gas! ke TKP!”

Riset dalam catatan ini bersifat preliminary. Dengan kata lain, masih nggak jelas kepentingan dan kebutuhannya apa. Tidak ada kategori data tertentu yang mau dikumpulin dan ditelaah, semuanya bersifat masuk kategori. Pokoknya ada yang menarik, ya gas otewe ke tekape. Yang terpenting dalam riset preliminary ini adalah penyetelan tubuhku dengan berbagai ruang, suasana, dan subjek di Gresik. Tubuhku pengen konek dulu aja sama semua yang ada di Gresik. Begitu~ 

MASIH HARI PERTAMA TIBA DI KOTA GRESIK
Sabtu, 22 Maret 2025 PUKUL 12.59

Tiba di halte Rumah Sakit Semen Gresik, lalu dijemput Gata. Seorang kawan yang pernah di Jogja, sekarang berdomisili di Gresik. Nah, dari Sidoarjo naik Trans Jatim, bayar Rp5.000, duduk terus. Semua orang duduk. Kata Gata, bus memang tidak penuh di akhir pekan. Dari halte, kami otewe ke rumah Gata sambil membahas rencana perjalanan hari ini. Hari terasa hangat, terik dan angin lembab menerpa kulit. Kelabu tampak samar-samar di langit timur.

13.15
Hujan turun, angin kencang. Kami selow dulu di rumah Gata, bincang-bincang perihal situasi batin tongkrongan terkini.

15.45-18.20
Aku dan Gata otewe ke Kecamatan Manyar, tepatnya ke Masjid Jami’ Sunan Dalam di Dusun Mulyorejo, Desa Gumeno. Gerimis membasuh sepanjang jalan, tubuh kami dilindungi teknologi jas hujan. Kami motoran ke utara Gresik, melewati area Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) yang beberapa hari sebelumnya dikunjungi Presiden Prabowo. Area itu megah belaka, penuh lampu sorot, tapi agak ganjil karena kanan-kirinya adalah lahan kopong. Area itu seperti bisul bengkak di kulit kering. Truk-truk tronton hilir-mudik di jalanan yang agak bergelombang dan berlubang. Kata Gata, warga sebenarnya sebel-sebel gimanaa gitu sama JIIPE karena pembangunan area ini tidak disertai pembangunan fasilitas penopang, seperti jalan khusus untuk truk misalnya. Jadi, warga sehari-hari harus sejalan sepermacetan dengan truk tronton, bahaya. Sebagai pelipur lara, pemerintah memberlakukan jam operasional khusus bagi lalulintas kendaraan bermuatan. Tetapi, dump truck dan gairah industri kan gaspol terus ya. Seorang warga entah siapa namanya kemudian bikin akun instagram @gresik_bahaya, isinya antologi video truk yang melanggar jam operasional juga menyalahi syariat lalulintas lainnya. Sebuah mekanisme kontrol sosial berbasis arsip digital, gera’an vernakular ini. Mantab!

 

Masuk Gumeno, aku melihat rawa-rawa dan (kayaknya sih) kolam tambak di mana-mana. Suasana agak gelap waktu itu, mata minus dan silinderku susah melihat dengan jelas. Tampaknya ini desa berbasis ternak air tawar. Tujuan kami adalah hajatan Sanggring Kolak Ayam Gumeno, sebuah hajatan tahunan di malam 23 Ramadhan. Aku sebenarnya janjian sama Cak Opang untuk melihat proses rewangan pada pagi-siang harinya. Apalah daya kenyataannya tak memungkinkan, aku bangun kesiangan. Ketika aku dan Gata parkir motor, suasana kampung meriah. Orang wara-wiri menenteng kotak-kotak mika berisi kolak ayam. Beberapa rumah terbuka pintunya dan dipenuhi banyak orang yang bersiap berbuka puasa. Magrib sudah di ujung hidung. Kami langsung ke episentrum peristiwa, yaitu Masjid Jami’ Gumeno. Di depan masjid, terop dan panggung digelar, suara penceramah menggelegar. Dari lokasi inilah sirkulasi distribusi kolak ayam terjadi. Kata Gata, baru kali ini kolak ayamnya diwadahi kotak mika, tahun-tahun sebelumnya bahkan warga bisa membawa ember untuk mengambil jatah kolak ayam. Dari secuplik sabda penceramah di panggung, aku mendengar keterangan bahwa kolak ayam Gumeno ini adalah jamu, bukan makanan/masakan, dan riwayat soal jamu ini sudah diwariskan selama 500 tahun. Jadi, yang utama dalam tradisi lelaku konsumsi jamu ini adalah menikmati khasiatnya, bukan menikmati rasanya. Dalam sejarahnya, sanggring kolak ayam Gumeno adalah sangkaning wong gering alias obat untuk sang raja yang sakit. Ratusan tahun lalu, jauh sebelum adanya BPJS, Sunan Dalem (Maulana Zainal Abidin) sang penguasa kedua Giri Kedaton jatuh sakit dan tak kunjung sembuh. Putra Sunan Giri ini lalu mendapat pencerahan spirituil untuk meracik kolak berbahan ketan, santan, jinten, bawang daun, gula merah, serta ayam kampung. Sang Sunan meminta para santrinya mengeksekusi kolak eksperimental itu di malam 22 Ramadhan, esok harinya beliau kembali sehat walafiat. “Jamu ini tidak bisa dipisahkan dari barokahnya bulan Romadhon,” pungkas sang penceramah.

Sabda sang penceramah itu jadi semacam ‘pengantar kuratorial’ atas kolak ayam yang akan kucicipi untuk pertama kalinya ini. Begitu azan Magrib berkumandang, semua orang membuka kotak mika yang mereka bawa. Di dalam kolak itu ada bungkusan plastik kolak ayam, sekepal ketan, dan dua buah kurma. Aku makan kurmanya terlebih dahulu, baru menyeruput kolak ayamnya, lalu memungkasinya dengan mengudap ketan. Di suapan berikutnya kolak dan ketan kucampur jadi satu. Aku pertama kali mendengar menu ini setahun lalu dari Cak Opang dan Bleki. Cerita mereka berdua soal rasa kolak ini begitu gawat, bahkan agak horor. “Tidak bisa ditelan,” kata Bleki, seingatku. Cerita mereka agaknya hiperbolis belaka, tapi aku bisa paham. Rasa kuah kolak ini manis parah bagi lidah Jawa Timur, bikin blenek (enek). Aku sempat agak mual ketika menyeruput terlalu cepat dan sering. Aromanya juga agak ganjil, kombinasi aroma gula merah dan jinten-bawang daun membuat sensor penciuman kita rawan overwhelming. Tetapi, perpaduan rempah dan ayamnya ya cocok-cocok aja. Gurih protein daging ayamnya masih terasa ketika dikunyah. Ya secara rasa ini sih mendekati gudeg atau semur bagi orang Jogja-Solo. Tekstur dan rasa tawar ketan oke banget sebagai ‘pembersih mulut’, membuat aftertaste rempah kolak ini tidak terlalu menyengat di hidung. Aku bisa menghabiskan seporsi kolak ini dengan mantab, tetapi untuk menyantapnya lagi dengan sengaja ya nanti dulu. Butuh kesiapan batin tersendiri memang untuk menyantap menu ra umom ini. Sudah benar kolak ayam ini muncul setahun sekali. Setelah menandaskan satu porsi, tubuhku langsung terasa lebih segar. Ya mau gimana, itu plating-an kolak isinya kurma, gula merah, dan ayam. Perpaduan antara protein dan gula tinggi. Energi booster kalau kata anak-anak health enthusiast mah.

Kata Gata, kolak ayam ini tidak dijual sehar-hari. Ia hanya dibuat pada malam 23 Ramadhan. Tapi kok bisa menu dengan komposisi bahan dan rasa yang ganjil ini bertahan ratusan tahun? Sebagaimana disebut dalam ‘pengantar kuratorial’ sang penceramah tadi, menu ini bukan sekadar menu. Ia adalah artefak gastronomis mujarab peninggalan Sang Sunan, produk sosiokultural spirituil kaum santri. Tradisi membuat dan memakan kolak ayam ini adalah peristiwa penubuhan ingatan atas sejarah identitas warga Gumeno. Dalam tiap suapan, ada semacam pengakuan aku ini rakyatnya/santrinya Sunan Dalem. Ya minimal pengakuan bahwa dulu mbah-mbahnya warga adalah para pengikut Sunan Dalem. Hajatan Sanggring Kolak Ayam Gumeno ini adalah peristiwa rekognisi sosial sekaligus aktivasi spirituil warga. Kalau hajatan ini berhenti dan kolak ayam Gumeno punah, itu berarti warga tidak hanya kehilangan medium arsip vernakular mereka, melainkan juga kehilangan peristiwa interkoneksi batin dengan para leluhurnya. Itu akan rentan membuat mereka seperti layangan putus di langit masa, tidak jelas dari dan mau ke mana.

Hal lain yang menarik perhatianku dalam hajatan ini adalah bertebarannya logo-logo korporasi dan instansi kelas kakap pada dekorasi terop dan panggung. Sebagai orang Madura-Sumenep, aku agak kagok melihat penampakan logo-logo duniawi itu di acara religius kayak gini. Di Sumenep, dan Madura secara umum, hal begituan tidak lazim, meskipun konglomerat boleh-boleh saja nyumbang buat hajatan. Tetapi, ini Gresik, teritori yang dikepung kuasa industrial. Hajatan sanggring ini juga dihadari bupati, jadi wajar belaka jika para korporat berebut tampil.
Tapi, yang paling menarik bagiku pada hajatan ini adalah hadirnya dua langgam kuliner kontras dalam satu tarikan napas. Kolak ayam jelas adalah kuliner tradisional-lokal, menu ini sudah terwariskan selama ratusan tahun dan itu hanya terjadi di Gumeno. Di sekitar pusat peristiwa, sebelum aku dan Gata masuk ke area Masjid Jami’ Gumeno, kami berjumpa para pedagang jajanan. Mereka menjajakan produk kuliner ‘asing’: sosis, burger, kebab, mozarella corndog, dan sebangsanya (meski dalam versi KW12, yang penting terjangkau). Sejauh yang bisa kuingat, tidak ada sama sekali penjual so called jajanan tradisional kayak lemper atau nagasari. Apakah lantas maraknya jajanan ‘asing’ ini adalah sebentuk gastrokolonialisma? Ya ngga juga. Toh, fakta bahwa menu kolak ayam terus dirawat dan peristiwanya memicu keramaian sedemikian rupa menunjukkan bahwa yang tradisional dan yang lokal itu tetap kuat kok bercokol di alam pikir warga.

Kehadiran dan bahkan maraknya produk komersil jajanan ‘asing’ itu di mataku adalah peristiwa kontak translokal yang tak terelakkan, niscaya terjadi. Sosis, burger, kebab, dan corndog juga adalah menu penganan tradisional-lokal di komunitas asalnya masing-masing. Budaya pop kontemporer membuat warga Gumeno bisa mengenali mereka dan menerimanya sebagai selera pasar. Jadi, ini adalah perjumpaan antarlokalitas. Menurutku, inilah bahasa internasionalismenya warga kelas menengah-bawah. Mereka tidak fafifu menggunakan bahasa asing tertentu untuk mempercakapkan ide-ide atau isu-isu global sebagaimana yang biasa dilakukan kelas menengah-atas; mereka langsung mempertemukan lokalitas mereka dengan lokalitas bangsa lain dalam ruang/peristiwa yang sama. Dan mereka percaya diri saja melakukan itu. Tidak ada gelagat paranoia bahwa lokalitas bangsa asing akan menggerus dan menjajah lokalitas mereka sendiri, keduanya bisa duduk setara dan bahkan justru bisa manunggal secara asyik. Karena toh, dalam konteks kolak ayam, lokalitas mereka bukanlah lokalitas yang murni, yang orisinil parah. Kurma dalam sepaket kolak ayam Gumeno adalah wujud kontak translokalitas yang tak bisa dibantah.  Gastrokolonialisma terjadi ketika warga mulai enggan menyantap kolak ayam dan lebih memilih berbuka puasa dengan ramen, misanya. Di Gumeno, aku tidak melihat itu. Ketika buka puasa hingga menjelang Isya, lapak jajanan ‘asing’ sepi. Semua orang berkerumun di depan masjid menyeruput kolak ayam warisan sang Sunan Dalem.

18.30-00.30
Aku dan Gata bergser ke rumah Ernaz. Kami dapet info dari Alamanda bahwa di sana ada bandeng kropok, semacam menu yang oke untuk menggenapi kolak ayam di lambung. Di rumah Ernaz juga ada Dewi dan Rya Dinata. Kata Ernaz, bandeng kropok ini adalah menu khas Manyar yang juga tidak ada jualan hariannya. Menu khususon ini. “Soalnya ikan bandeng yang khusus buat menu ini ngga banyak di pasar, ngga setiap hari ada juga,” terang Ernaz. Berarti menu ini melibatkan bahan baku (bandeng) dengan spek khusus. “Kalau pakai bandeng biasa, rasanya beda,” timpal Gata. Saat aku cek di gugel, resep bandeng kropok ini melibatkan tumisan petis, kecap manis, cabe rawit, kacang tanah goreng, dan jeruk nipis. Sisanya adalah bumbu dasar biasa, baput bamer gula garam. Cara masaknya bisa dicek di yutup. Aku tak sempat bertanya detail pada Ernaz, tangan dan mulutku kadung sibuk menyantap dua potong bandeng kropok di hadapan. Rasanya gurih asem manis, agak smoky tapi ada tekstur gorengnya, bandengnya sama sekali tidak bau tanah. Istimewa. Dalam lalu-lintas obrolan ngalor-ngidul, Ernaz kutanyai seputar kolak ayam. Ia bercerita bahwa kolak itu dibiayai dan dibuat secara patungan oleh warga kampung. “Tiap rumah bisa nyumbang duit sekian, nanti mereka akan dapet jatah kolak sekian kotak,” jelas Ernaz. “Jadi kayak beli gitu.” Rewangan atau proses masaknya hanya melibatkan para warga pria di Gumeno. Sementara itu, hajatan pengajiannya dikelola dan dibayai oleh takmir Masjid Jami’ Gumeno. Gokil betul ini. Kerja perawatan berbasis crowdfunding dan kolaborasi. Langgam penyelenggaraan semacam ini tampaknya membuat kolak ayam Gumeno menjadi karya sosial, karya yang dibuat dari dan untuk semua orang. Sepanjang obrolan, aku mendapat info-info dengan kata kunci kuliner, antara lain:
Bubur harisa (bubur dempul), biasanya dibuat saat khataman/hajatan seperti:
– Bontosan
– Jepit jemek
– Ayam kare wadeng
– Kelo kuning sembilang
– Ayam bekakak
– Bubur rumo meduran
– Bruder Giri
– Bandeng godog, biasanya disajikan pas lebaran
– Kupat kethek
– Bonggolan (sedayu)
– Koncok-koncok
– Semuanya langsung masuk DPO (Daftar Pangan Oke), harus diburu dan diciduk bilamana ketemu.

01.00-01.39
Kami beranjak pulang dari Gumeno. Di tengah perjalanan, Gata dilanda lapar. Maka bergegaslah kami ke Rawon Chernobyl, semacam warung rawon yang berhadap-tatap dengan lanskap cerobong-cerobong asap pabrik. Tapi, alangkah sial, ternyata warung rawon itu tutup. Gata lantas mengajakku geser ke Sego BHS di Bedilan. Kata Gata, sego BHS ini pada dasarnya adalah makanan katering bagi karyawan dan pekerja pabrik PT. Behaestex (produsen sarung BHS). “Menunya cuma satu, Pak. Sambelnya pedes banget,” terang Gata kepadaku di atas motor.
Warung Sego BHS masuk gang, bisa dari Jl. Jaksa Agung Suprapto. Kami melewati SMPN 1 Gresik dan SDN 7 Gresik. Warungnya menyaru dalam sebuah garasi mobil berdinding separuh keramik separuh semen. Hanya ada sebuah meja saji nyempil di pojokan, dua meja bundar yang tak terlalu besar, dan lemari-lemari pendingin berisi macam-macam minuman kemasan. Kata Gata, warung ini dulunya berlokasi di depan SMP, tampilannya ya kayak warung kampung pada umumnya. Ketika kutanya kapan persisnya warung ini diinisiasi, Gata tidak tau. “Sebelum aku sekolah di SMP itu kayaknya udah ada,” ujarnya. Dan, sejak Gata bisa mengingatnya, warung ini memang hanya menjual satu menu: nasi berlauk mie putih, potongan tempe goreng, telor ceplok, dan ayam-tahu berbumbu bali, plus secuil sambal bawang. “Jarang ada orang makan di tempat, kebanyakan bungkus,” ujar Gata. “Mereka juga tidak punya menu minuman, minum langsung ambil yang kemasan aja.”

Rasa sego BHS familiar di lidahku. Gurih sedapnya mirip nasi krawu, tapi dalam spektrum yang berbeda. Sambalnya segera menyita perhatian lidahku. Tampaknya ini sambal bawang. Pedasnya langsung menyengat di kunyahan pertama. Pedas nampol tapi tetap gurih

 

Menariknya, di kunyahan kesekian, rasa pedas itu memudar. Begitu kita menyendok sambalnya lagi, sengatan pedas itu dimulai ulang, lalu pudar lagi. Pedas di lidah bisa sirna ketika satu porsi habis. Skala pedas yang bisa naik-turun ini menunjukkan skill memasak tingkat tinggi. Pedas sendiri adalah sensasi lidah terbakar yang dipicu zat kapsaisin pada cabai. Kapsaisin bisa rusak ketika dimasak dengan minyak bersuhu tinggi terlalu lama. Maka, untuk merancang sensasi pedas yang bisa menyengat tapi mudah pudar, kita perlu mengatur suhu dan timing masak secara ketat agar kapsaisin tidak rusak tapi bisa matang sempurna (tidak langu). Komposisi minyak juga musti ditakar agar tak terlalu banyak. Semuanya musti pas, terutama timing. Proses masak musti berhenti di kadar kematangan tertentu, karena panasnya minyak masih akan berlanjut sampai cooling down. Kadar kematangan ini biasanya ditandai dengan warna dan aroma. Kalau sambalnya dimasak sampai matang sempurna, ia bisa overcooked. Ini yang tidak mudah. Bisa menghasilkan sambal dengan pedas demikian secara konsisten adalah akumulasi pengalaman menahun. Skill master ini. Dan sambal ini tidak panas di perut, artinya ia tak menggunakan merica. Ini sambal yang cocok bagi lidah kelas pekerja, membakar semangat tapi tak menyiksa lambung.

Barangkali sego BHS memanglah anak kandung industrialisasi. Namanya saja mengandung sejarah panjang relasi bisnis dengan industri tekstil. Aku membayangkan, sudah berapa ratus ribu perut karyawan Behaestex yang telah dikenyangkan oleh sego BHS? Nyaris tak pernah terpikir sebelumnya bahwa energi tubuh penggerak industri itu bisa disuplai oleh sebuah warung kecil dalam gang. Sego BHS adalah infrastruktur energi penopang tubuh industrial. “Tapi kayaknya mereka udah ngga nyuplai BHS, Pak,” ujar Gata sambil mengunyah daging. “Kayaknya sekarang mereka nyuplai katering umum aja, tapi masih pakai menu yang sama.” Ketika membahas itu, persis di meja kami ada tumpukan kardus-kardus nasi yang diikat tali rafia. Ketika kami rampung makan dan merokok, seseorang bermobil datang mengangkut kardus-kardus nasi itu. Aku sempat melihat tulisan “Petrokimia Gresik” di bagian atas kardus itu.
Rampung makan dan membayar, aku tertarik melihat situasi gang di sekitar Warung Sego BHS. Musababnya, di sekitar situ, mataku menangkap penampakan mural khas warga gang. Mural dalam gang tentu punya watak berbeda dari mural jalanan. Secara visual, mural dalam gang relatif lebih ‘sopan dan terkendali’. Umumnya, mural gang menggunakan anasir alam seperti gunung, daun-daun, atau bunga-bunga. Pada dasarnya, mural gang adalah ikhtiar estetisasi atas ruang hidup. Ia biasanya juga sekaligus jadi semacam ‘pintu Doraemon’ untuk menjangkau realitas lain yang dibayangkan bersama.

01.50-02.43
Kami sebenarnya otewe pulang, tapi Gata mengajakku lewat daerah Gunungsari. “Siapa tau ada yang menarik, Pak,” kata dia. Aku oke ajalah. Akhirnya kami melipir ke Circuit Cafe. Ia terletak di atas gumuk/bukit. Dari sana mata kami bisa menyapu lanskap cahaya kota. Deru pabrik terdengar samar-samar. Aku gampang terpukau pada kedahsyatan lanskap industrial di Gresik, di Madura tidak ada yang kayak begituan soalnya. Lampu-lampu pabrik menyala terang di antara cerobong asap, diselingi kelap-kelip lampu rumah warga. Dari atas bukit, pemandangan itu tampak megah.
Persis di bawah tempat kami nongkrong adalah bekas trek latihan motor tril. Itulah kenapa tempat ini dinamai Circuit Cafe, ia pernah bertetangga dengan sirkuit motor gahar. Yang menarik perhatianku dari tempat ini adalah betapa banyak dan beragamnya anak muda yang nongkrong di sini. Mereka duduk berkelompok. Ada kelompok anak-muda-sibuk-ngegame-sendiri-sendiri, ada jamaah anak muda sarungan, ada juga kolektif penunggang RX King. Gokil. Ini memberiku bayangan perihal sirkel komunitas anak muda di Gresik.

 

Bersambung …………

__

Tentang Penulis

 

Ragil Cahya Maulsna • Lahir di Bululawang pada 27 Desember 1991, lalu pindah dan menetap di
Sumenep hingga SMA. Sejak akhir 2021, saya mukim di Sleman hingga entah kapan.
Pendidikan formal terakhir saya tempuh di jurusan Sosiologi Universitas Brawijaya,
Malang. Pengalaman terlibat dalam beberapa kerja riset sosiologi pedesaan
membentuk minat artistik yang banyak berminat pada peristiwa vernakular. Asumsi: ada modalitas
berharga, juga keindahan, di balik hal-hal yang tampak biasa dan sepele dalam
keseharian kita. Fotografi, kuliner, koreografi sosial, instalasi sosial, dan budaya pop
kontemporer adalah bidang riset vernakular.

Pada 2016, saya dan beberapa kawan di Sumenep menginisiasi Komunitas Toremaos
(@toremaos). Setelah bertahun mengurusi kerja kepustakaan, komunitas literasi ini lalu
berkembang menjadi dapurkultur (@ruangdapurkultur), sebuah kolektif antarkota
antarprovinsi yang mengelaborasi dapur lewat kerja perekaman dan pengarsipan.
Secara personal Ragil C Maulana kini mengelola Majelis Selaras (@majelisselaras), sebuah
program belajar dengan metode nongkrong, sambil sesekali memasak untuk
enSambel Khoir (@ensambelkhoir) ; berkecimpung sebagai
periset dan kurator vernakular di Lembana Artgroecosystem (@lembanaartgro),
platform seni-budaya berbasis desa dan pertanian. Secara profesional, saya biasa
bekerja sebagai pustakawan, penulis/editor, kurator, manajer program, juru masak, dan
sesekali menganggur.