Kampung Lumpur di Gresik adalah ruang di mana laut meninggalkan jejaknya bukan hanya di pasir dan air, tetapi juga pada benda-benda, warna, bahkan cara hidup warganya. Di sini, estetika bukanlah kemewahan, melainkan napas sehari-hari: box culvert menjadi bangku untuk bercakap, kandang unggas dipoles warna cerah, mural ikan berdampingan dengan iklan dokter dan pentol seafood. Segala sesuatu yang tampak sepele, hadir sebagai tanda bahwa kampung ini hidup dalam ritme visual yang padat makna.
Zine ini lahir dari upaya membaca ulang dokumentasi—menjadikan foto, catatan, dan fragmen kehidupan sebagai teks estetis. Dalam bingkai Biennale Jatim XI “Hantu Laut”, dokumentasi bukan sekadar arsip, tetapi juga narasi tentang bagaimana masyarakat pesisir menegosiasikan dirinya dengan laut, dengan industri, dengan tradisi, dan dengan modernitas yang terus menekan.
“Hantu Laut” hadir bukan sebagai sosok menakutkan, melainkan sebagai metafora: ia adalah bayangan yang menyertai kehidupan warga, hadir di perahu, di dermaga, di ikan asin yang dijemur, bahkan di makanan khas yang terhidang di meja. Ia menandai rapuhnya batas antara kehidupan dan ancaman, antara yang lokal dan yang global.
Melalui halaman-halaman zine ini, kita diajak masuk ke dalam estetika keseharian Kampung Lumpur: estetika yang lahir dari benda sederhana, tekstur kuliner, hingga ornamennya yang terbuat dari bambu. Semua ini bukan sekadar dokumentasi, melainkan kesaksian tentang bagaimana masyarakat pesisir Gresik terus berlayar di tengah gelombang zaman. Estetika lahir dari cara warga mengalihfungsikan infrastruktur keras menjadi ruang sosial. Box culvert, yang biasanya berfungsi sebagai saluran drainase, diubah menjadi bangku di depan gapura gang. Di sini, estetika resistensi sekaligus estetika fungsional bertemu: beton yang kaku dilunakkan oleh interaksi sehari-hari, sementara pilihan warna terhubung dengan warisan Serat Sindujoyo. Fenomena ini mencerminkan semangat Biennale “Hantu Laut” yang menegaskan pertemuan antara infrastruktur, sejarah, dan praktik sosial masyarakat pesisi”
Fenomena unconditional design atau siasat warga di Kampung Lumpur. Box culvert atau gorong-gorong kotak adalah struktur beton bertulang pracetak berbentuk persegi atau kotak yang digunakan untuk saluran drainase, irigasi, atau mengalirkan air di bawah jalan, rel kereta api, atau infrastruktur lainnya. Di sini, warga mengalih fungsikan box culvert menjadi bangku atau bench di depan sebuah gapura sebuah gang. Warna-warna yang digunakan adalah warna yang ada di Serat Sindujoyo dan menjadi warna yang banyak ditemui di kampung ini – VINI SALMA FADHILA
Pada dinding Kampung Lumpur, estetika muncul dari pertemuan yang tampak tidak sinkron, namun justru memperlihatkan wajah kontemporer kampung: mural ikan berdampingan dengan ornamen pintu melengkung, sementara di kerai jendela terpampang iklan dokter umum di bawah iklan pentol seafood. Kontras ini merepresentasikan estetika campuran (hybridity) khas masyarakat pesisir—dimana kesehatan, makanan, dan seni visual saling tindih. Dalam bingkai Hantu Laut, ini adalah gambaran tubuh kampung yang menampung kompleksitas modernitas dan tradisi sekaligus.
Fenomena jukstaposisi visual yang menarik banyak ditemui di Kampung Lumpur. Salah satunya adalah dinding ini. Selain ornament dekorasi pintu dan jendela yang berbentuk melengkung, visual mural ikan di dinding, informasi di kerai yang dipasang di jendela memuat informasi yang sangat kontras: di bagian bawah adalah informasi tentang jasa praktik dokter umum, sementara di atasnya informasi tentang penjual pentol seafood. – VINI SALMA FADHILA
Estetika dramatis hadir dari benda yang tampaknya tersesat: rangka dipan berwarna biru keabu-abuan berdiri di area penjemuran ikan asin. Kejanggalan ini bukan sekadar kebetulan visual, melainkan bagian dari poetika keseharian. Ia menandai benturan antara ruang privat (perabot rumah) dan ruang produktif (industri ikan). Biennale “Hantu Laut” membacanya sebagai memori visual tentang liminalitas, ruang-antara yang cair, di mana rumah tangga dan kerja nelayan berkelindan.
Selain visual yang memuat jukstaposisi, visual yang terasa tidak terencana namun memiliki kesan dramatis juga kerap kali ditemui. Salah satunya rangka dipan berwarna abu muda kebiru-biruan yang Nampak belum begitu lapuk, namun berada di luar, di tempat para nelayan menjemur ikan untuk diolah menjadi ikan asin. – VINI SALMA FADHILA
Kandang unggas di Kampung Lumpur bukan sekadar wadah, melainkan ruang ekspresi. Warga memberi warna-warna cerah pada benda utilitarian, seolah menolak logika fungsional murni. Estetika lahir dari keseriusan terhadap hal remeh: praktik sehari-hari disulap menjadi artefak visual. Dalam konteks Hantu Laut, ini menjadi simbol tentang bagaimana warga pesisir menolak invisibilitas; mereka memoles keseharian agar terlihat hidup, bersinar, dan pantas dirayakan.
Warga menganggap serius visual benda sehari-hari secara serius. Benda yang sering kali saya lihat dibuat sederhana seperti kendang unggas peliharaan pribadi, di Kampung Lumpur dibuat dengan pilihan warna cerah dan desain yang menarik selain fungsional.- VINI SALMA FADHILA
Di sini, estetika material dan taktil muncul kuat. Jemuran ikan asin bukan hanya kerja ekonomi, melainkan bentuk visual dengan tekstur, pola, dan repetisi yang membentuk ritme estetik. Biennale menjadikan detail ini bukan sekadar dokumentasi kerja nelayan, tetapi sebuah landscape mikro yang merayakan aroma, warna, dan bentuk sebagai bagian dari narasi pesisir.

Bale-bale dengan plafon bambu menegaskan estetika ekologis. Material lokal diolah bukan hanya sebagai penopang, tetapi juga sebagai ornamen. Estetika bambu menunjukkan kesinambungan antara fungsi dan keindahan yang organik, sekaligus menjadi representasi keberlanjutan. Dalam bingkai Hantu Laut, ornamen ini menegaskan posisi kampung sebagai ruang yang merawat kearifan lokal dalam menghadapi modernisasi industri.

Bejanggan, komponen yang menyangga layar, menjadi simbol estetik dari fungsi vital. Estetika di sini terletak pada aksen struktural—bagaimana benda kecil namun krusial menjadi penghubung antara manusia, layar, dan laut. Ia adalah metafora tentang ketegangan dan penyeimbang, sebuah titik estetis yang merekatkan tubuh perahu dengan angin laut. Pada Hantu Laut, ia hadir sebagai representasi hubungan teknis yang sarat simbolisme.
Bejanggan, salah satu komponen dalam perahu nelayan yang berfungsi untuk menyangga layar dan diletakkan di ujung depan perahu kayu. – VINI SALMA FADHIL
Gambar warga berjalan di dermaga dengan latar pelabuhan industri adalah benturan visual paling gamblang: tubuh nelayan tradisional yang rapuh bersanding dengan industri yang masif. Estetika kontras ini adalah inti dari Biennale “Hantu Laut”: menampilkan bahwa kehidupan pesisir bukan ruang homogen, melainkan selalu bergulat dengan bayang-bayang kapitalisme. Dokumentasi ini menjadi gambar ikonik tentang relasi antara lokalitas dan globalisasi.
Estetika akhirnya ditutup dengan detail makanan khas—calon udang. Tekstur, rasa, dan visualnya menjadi bentuk lain dari dokumentasi: estetika kuliner. Ia mengikat dimensi tubuh, indera, dan identitas. Dalam narasi Biennale, calon udang bukan sekadar hidangan, melainkan penanda bahwa estetika Kampung Lumpur tidak hanya dapat dilihat, tetapi juga dicicipi, dihirup, dan dihidupi. Melalui sepuluh dokumentasi ini, estetika Kampung Lumpur bukan hanya terletak pada keindahan formal, tetapi lebih pada poetika sosial: cara warga mengolah, menata, dan menghidupi material, benda, serta ruang dalam keseharian mereka. Dalam konteks Biennale Jatim XI “Hantu Laut”, dokumentasi ini memperlihatkan bagaimana pesisir Gresik menjadi ruang estetis yang hidup, di mana kerja, tradisi, dan modernitas saling berkelindan, menyingkap wajah lain dari “hantu” laut: bukan sekadar ancaman, melainkan juga penanda kehidupan yang terus mengalir.
PROFIL
Toriq Fahmi – Penulis dan peneliti.
Saat ini di Yayasan Serbuk Kayu sebagai direktur kajian dan riset, dan pimpinan redaksi Terbit Terang Yayasan Biennale Jatim.
Cp: 085853201934 – Social Media: @f.thoriq