Biennale Jogja 18: Kawruh Tanah Lelaku di Babak II, Saat Tanah Menjadi Ruang Belajar

Setiap dua tahun sekali, Yogyakarta menjadi titik pertemuan antara gagasan, pengalaman, dan tubuh-tubuh yang mencoba membaca dunia lewat seni. Tahun ini, Biennale Jogja 18 hadir dengan tema “Kawruh: Tanah Lelaku”, sebuah konsep yang menuntun kita untuk kembali menapak, mendengarkan, dan belajar dari tanah tempat kita berpijak.

Dari Langkah ke Lelaku

“Kawruh” dalam bahasa Jawa berarti pengetahuan. Ia tumbuh dari pengalaman, dari tubuh yang bergerak, dari cara manusia berelasi dengan alam. Sementara “Lelaku” berarti laku hidup semacam praktik keseharian yang membentuk pemahaman spiritual, sosial, dan ekologis. Direktur Biennale Jogja, Alia Swastika, menjelaskan bahwa “Kawruh Tanah Lelaku adalah cara memahami dunia lewat pengalaman, bukan teori. Ia menegaskan bahwa seni adalah membangun pengalaman yang membentuk cara kita melihat dan merasakan realitas.”

Babak II: Kolaborasi dengan Tanah dan Komunitas

Setelah membuka Babak I di Padukuhan Boro, Kulon Progo, Biennale Jogja 18 kini berlanjut ke Babak II, yang berlangsung dari 5 Oktober hingga 20 November 2025 di berbagai lokasi: Kampoeng Mataraman, Desa Panggungharjo, Bangunjiwo, hingga Tirtonirmolo. Di fase ini, gagasan tanah sebagai pengetahuan diterjemahkan lewat kerja kolaboratif antara seniman dan komunitas lokal. Lebih dari 60 seniman yang terlibat dari berbagai daerah dan negara turut menghadirkan karya yang berangkat dari lanskap, ingatan, dan praktik hidup masyarakat setempat. Mulai dari video, instalasi, performans, hingga proyek partisipatif, para seniman membangun ruang pertemuan baru antara seni dan kehidupan sehari-hari. Beberapa karya membicarakan isu ekologi, keberlanjutan, dan hubungan manusia dengan bumi. Ada juga yang menggali ulang narasi agraria, pengetahuan lokal, dan spiritualitas yang hidup di desa.

 

 

Seni yang Tumbuh dari Lelaku

Pendekatan ini menegaskan bahwa seni tidak berdiri di luar masyarakat. Ia tumbuh bersama kehidupan, menjadi cara untuk merawat relasi dan memori. Seperti yang disampaikan Alia Swastika, Biennale Jogja berupaya menghindari pola kerja hit and run, di mana seniman datang sebentar lalu pergi tanpa meninggalkan jejak. Sebaliknya, proyek ini mencoba menanam waktu dan kemudian menghadirkan seni yang berakar, yang bisa dirawat dan tumbuh bersama komunitas. Beberapa kurator dan seniman menyebut proses ini sebagai belajar bareng tanah. Tanah di sini dianggap sebagai ruang hidup seperti ubuh yang menyimpan cerita, dan tempat di mana pengetahuan terus berputar.

Menemukan Arah Lewat Langkah

Di tengah dunia yang serba cepat dan digital, Kawruh Tanah Lelaku seperti mengingatkan kita untuk pelan lagi. Untuk menatap ke bawah dan menunduk ke arah tanah lalu menemukan sebuah arah lewat langkah kecil yang kita ambil setiap hari.

Bagi kami di Artchemist, Biennale Jogja 18 adalah pengingat bahwa pengetahuan mengajarkan dan memberikan ruang dialog, relasi, dan refleksi dimana momentum ini bisa menjadi cara untuk membaca ulang seni lokal, menelusuri bagaimana “kawruh” diterjemahkan menjadi karya konkret dan nyata dari instalasi hingga dokumentasi partisipatif. Melalui kolaborasi kritis dan audit visual, publik dapat ikut menafsir ulang bagaimana seni menumbuhkan empati, bukan sekadar estetika. Pada akhirnya, Kawruh Tanah Lelaku mengajak kita untuk belajar dari yang paling sederhana: langkah kecil, tanah di bawah kaki, dan kesadaran bahwa setiap pijakan bisa menjadi pengetahuan baru.

 

 

Biennale Jogja 18: Kawruh Tanah Lelaku

️ 5 Oktober — 20 November 2025

Kampoeng Mataraman, Panggungharjo, Bangunjiwo, Tirtonirmolo, dan lokasi lainnya di Yogyakarta.

#BiennaleJogja18 #KawruhTanahLelaku #ArtchemistID #JogjaArtScene #ContemporaryArtIndonesia #artexhibition

 

Editor: AHA